Memperbaiki Niat

Wahai saudaraku, sebaiknya engkau memperbaiki niat, memurnikannya, menimbuIkannya dan memikirkannya sebelum memulai melakukan amal perbuatan. Ketahuilah, bahwa niat adalah asas utama dalam sebuah perbuatan dan semua amal perbuatan akan mengikutinya, baik atau buruknya dan benar maupun tidaknya.

Dalam hal ini. Baginda Nabi Muhammad Shalallahu alaihi wa aalihi wa shahbihi wa salam bersabda:

إنما الأعمال بالنيات وانما لكل امرئ ما نوى
Artinya: “Sesungguhnya segala perbuatan itu tergantung pada niat dan sesungguhnya tiap-tiap orang akan mendapatkan apa yang ia niatkan.’

Sebab itulah, hendaknya engkau tidak mengucapkan satu perkataan atau melakukan satu perbuatan atau merencanakan sesuatu apapun, kecuali engkau sudah berniat untuk mendekatkan diri kepada Allah SWT dan menginginkan pahalanya yang telah diatur oleh Allah SWT pada perkara yang diniatkan sebagai bentuk karunia-Nya.

Ketahuilah bahwa tidak bisa mendekatkan diri kepada Allah SWT, kecuali melalui apa yang Allah SWT syari’atkan melalui lisan Kasul-Nya dari perkara yang fardhu ataupun yang sunnah. Dan terkadang niat yang sungguh-sungguh akan berpengaruh terhadap perkara yang mubah. Sehingga menjadikannya sebuah kedekatan kepada Allah SWT.

Apabila dipandang dari segi perantara, sama hukumnya dengan tujuannya. Seperti orang yang berniat dalam makannya untuk kuat beribadah kepada Allah SWT dan ketika ia menggauli istrinya, ia berniat untuk menghasilkan keturunan baik, shaleh ataupun shalehah yang akan menyembah Allah SWT

Sebagai syarat kesungguhan niat adalah tidak didustakan oleh amal perbuatannya. Contohnya, seseorang yang menuntut ilmu dan ia mengaku bahwa niatnya menuntut ilmu adalah untuk mengamalkan dan mengajarkannya, maka jika ia tidak melakukannya sedangkan ia mampu, berarti niatnya tidak benar.

Seperti halnya seseorang yang mencari materi duniawi dan ia mengaku bahwa niatnya hanyalah untuk mencukupi dirinya dari meminta kepada orang lain. Serta dapat bersedekah kepada orang yang membutuhkan dan untuk menyambung tali kekerabatan. Maka jika ia tidak mewujudkannya sedangkan ia mampu, berarti niatnya sia-sia.

Niat tidak akan menghasilkan apapun dalam perkara kemaksiatan, sebagaimana juga bersuci tidak akan berguna apabila benda najisnya masih ada. Maka apabila dijumpai seseorang yang mengumpat orang lain sedangkan ia mengaku bahwa ia bertujuan untuk menyenangkan orang lain, maka sesungguhnya ia termasuk salah satu pengumpat.

Barangsiapa yang mendiamkan amar ma’ruf dan nahi munkar sedangkan ia mengaku bahwa tujuannya mendiamkan hal ini adalah agar tidak menyinggung perasaan orang lain yang bermaksiat, dalam hal ini ia sama-sama berdosa dengan orang itu. Karena ia telah membiarakan saudaranya bermaksiat dan menginjak-nginjak syari’at Allah SWT dan Rasul-Nya.

Jika niat yang buruk berkaitan dengan perbuatan yang baik, maka niat itu akan merusaknya dan merubahnya menjadi buruk. Contohnya adalah seseorang yang melakukan amal shaleh, tetapi niatnya untuk memperoleh harta dan materi duniawi serta mencari ketenaran.

Saudaraku, berusahalah agar niatmu dalam beramal shaleh semata-mata murni karena Allah SWT. Dan saat engkau akan melakukan perbuatan yang mubah, maka niatkanlah sebagai penunjang untuk taat kepada Allah SWT. Ketahuilah, sesungguhnya Jika dalam satu amal perbuatan terkumpul niat-niat yang banyak, maka pelakunya akan mendapatkan pahala yang sempurna dari masing-masing niat itu, tanpa berkurang pahala niat itu sedikitpun.

Contohnya diantara perbuatan ibadah ia berniat membaca al-Quran dan bermunajat kepada Allah SWT. Maka dalam hal ini, si pembaca mendapatkan pahala orang yang membaca al-Qur’an dan mendapatkan niat bermunajat kepada Allah SWT, dan masih banyak lagi niat shaleh lainnya. Contoh dalam perkara yang mubah adalah, saat makan engkau berniat agar lebih kuat dalam melaksanakan perintah Allah SWT. Maka makanmu oleh Allah SWT engkau diberi pahala orang yang beribadah.

Sebagaimana firman Allah SWT:

يأيها الذين ءامنوا كلوا من طيبات ما رزقناكم
Artinya: “Wahai orang-orang yang beriman, makanlah diantara rezeki yang baik-baik yang Kami berikan kepadamu” (Qs al-Baqarah ayat: 172).

Sumber: Nasihat Untukmu Wahai Saudaraku Karya Al ‘alamah Al Habib Abdullah bin Alwi Al Haddad

Tingkatan Ikhlas

Ikhlas itu ada tiga tingkatan,

Pertama, yang terendah, adalah melakukan karena amal karena mengharapkan maslahat dunia yang Allah janjikan,

Contohnya bersedekah dan menyingkirkan beban hidup saudara kita, agar Allah juga singirkan beban yang kita hadapi. Ataupun berpuasa dengan alasan kesehatan,

Kedua, yang menengah, adalah beramal karena mengharapkan maslahat akhirat. Tak usah ditanya, sudah jelas kategori ini adalah keikhlasan yang termotivasi surga balasan, ataupun neraka sebagai ancaman,

Katiga, yang paling tinggi, yang sempurna, adalah amal yang dilakukan semata karena Allah. Tak peduli ada maslahat dunia, tak peduli di akhirat ada ganjaran,
Bukan berarti, saat orang beramal karena mengharap janji Allah di dunia ataupun di akhirat, Anda boleh katakan bahwa mereka tak tulus. Karena itu semua Allah-lah yang menjanjikan,
Jangan sampai karena ibadah Anda level ikhlasnya tinggi, orang yang level ikhlasnya masih belum sempurna Anda rendahkan,
Itu namanya takabur. Boleh jadi pahala ikhlas Anda tadi hilang karena dikikis dosa sombong. Di sini pintu masuk setan,
Biarkan saudara Anda beribadah sesuai kadar keikhlasan yang ia mampu. Selama masih masuk kategori ikhlas. Jangan paksakan ia untuk bisa selevel dengan Anda. Biarkan ia lewati proses agar keikhlasan sempurna bisa ia dapatkan,
Doakan ia, doakan pula saya, agar tak lagi peduli surga dan neraka dalam beramal dan mampu menjadikan Allah satu-satunya alasan,
Jangan sampai amal yang kita lakukan malah membuat sombong. Karena memang amal saleh adalah pintu masuk setan paling besar setelah ilmu. Begitu kata Imam Muhammad bin Ali Al-Barkawi. Hati-hati dengan permainan setan. Tingkatkan kewaspadaan,
Ah, ya, tentang pembagian keikhlasan, itu adalah salah satu mutiara hikmah yang disampaikan Syaikh Salim al-Khathib di salah satu pengajian,
Semoga Allah selalu menuntun kita untuk jadi lebih baik.. (^_^)

Tingkat Keikhlasan

Ada orang yang bertanya: apakah boleh kita membaca waqiah dengan tujuan meraih dunia (kelancaran rizki)? Apakah hal ini tidak termasuk kategori Riya?.

Permasalahan seperti ini bisa saja menggangu pikiran para jamaah. Maka dalam kesempatan ini saya ingin meluruskan mengenai definisi riya, ikhlas dan tingkatannya seperti berikut dan selanjutnya anda yang akan menjawab pertanyaandiatas dengan sendirinya.

Dalam Risalah qusyairiyah disebutkan : وقال الفضيل بن عياض رحمه الله تعالى: (ترك العمل من أجل الناس رياء، والعمل من أجل الناس شرك، والإخلاص أن يعافيك الله منهما) [“الرسالة القشيرية” ص95 ـ 96)

Fudhail bin iyadl Rahimahullah berkata: Meninggalkan Amal karena manusia itu namanya riya’, beramal karena manusia itu namanya syirik dan Ikhlas adalah jika engkau dijauhkan oleh Allah dari keduanya.

Sedang ibnu ajibah Rahimahullah berkata ; الإخلاص على ثلاث درجات: إخلاص العوام والخواص وخواص الخواص. Ikhlas terdiri atas tiga tahapan: فإخلاص العوام: هو إخراج الخلق من معاملة الحق مع طلب الحظوظ الدنيوية والأخروية كحفظ البدن والمال وسعة الرزق والقصور والحور. (1) Ikhlas awam. yaitu, berbuat karena Allah semata, namun masih menginginkan bagian dunia dan akhirat, seperti kesehatan dan kekayaan –Rizki yang melimpah , juga kemegahan di surga serta bidadari; وإخلاص الخواص: طلب الحظوظ الأخروية دون الدنيوية. (2) Ikhlas Khusus. yaitu, hanya menginginkan bagian akhirat tanpa memperdulikan bagiannya di dunia; وإخلاص خواص الخواص: إخراج الحظوظ بالكلية، فعبادتهم تحقيق العبودية والقيامُ بوظائف الربوبية محبة وشوقاً إلى رؤيته، (3) Ikhlas khawasul khawas. yaitu, melepaskan seluruh keinginan atau bagian kesenangan serta balasan dunia dan akherat, persembahan mereka semata-mata hanya untuk merealisasikan ubudiyah sekaligus melaksanakan hak dan perintah Ke-Tuhanan (Rububiyah), karena cinta dan rindu untuk melihat Allah SWT.

Dalam kitab minhajul abidin terdapat permasalahan yaitu: Banyak masyayikh yang mengamalkan surat waqiah sewaktu dilanda kesulitan (ayyamul usri), mereka membaca quran yang termasuk amalan akhirat tapi dengan menghendaki harta dunia, apakah tidak termasuk riya’? Imam ghazali menjawab bahwa tujuan mereka adalah dunia yang digunakan untuk kebaikan, mengajarkan ilmu, menolak ahli bid’ah, membela kebenaran, mengajak-ngajak manusia menuju ibadah, dan mempermudah ibadah. فَهَذِهِ كُلُّهَا إرَادَاتٌ مَحْمُودَةٌ لَا يَدْخُلُ شَيْءٌ مِنْهَا فِي بَابِ الرِّيَاءِ ؛ إذْ الْمَقْصُودُ مِنْهَا أَمْرُ الْآخِرَةِ بِالْحَقِيقَةِ Ini semua adalah keinginan / tujuan yang terpuji yang tidak masuk kedalamnya sesuatupun dari unsur riya’. Karena harta dunia (yang dicari dari surat waqiah) hakikatnya adalah berorientasi akhirat. Hal ini berlandaskan pada hadits shohih; “innamal a’mal bin niyyaat ” yang dijabarkan dalam sebuah hadits : كم من عمل يتصور بصورة الدنيا فيصير من أعمال الآخرة بحسن النية, وكم من عمل يتصور بصور الآخرة فيصير من أعمال الدنيا بسوء النية Betapa banyak amal yang berbentuk amal dunia tetapi menjadi amal akhirat karena baiknya niat dan betapa banyak amal yang berbentuk amal akhirat tetapi jadi amal dunia belaka karena jeleknya niat.

by : gusfathulbari